SEJARAH PERKEMBANGAN POHON KARET
A.
Mengenal Tanaman Karet
Karet adalah tanaman perkebunan tahunan berupa pohon
batang lurus. Pohon karet pertama kali hanya tumbuh di Brasil, Amerika Selatan,
namun setelah percobaan berkali-kali oleh Henry Wickham, pohon ini berhasil
dikembangkan di Asia Tenggara, di mana sekarang ini tanaman ini banyak
dikembangkan sehingga sampai sekarang Asia merupakan sumber karet alami. Di
Indonesia, Malaysia dan Singapura tanaman karet mulai dicoba dibudidayakan pada
tahun 1876. Tanaman karet pertama di Indonesia ditanam di Kebun Raya Bogor. Indonesia
pernah menguasai produksi karet dunia, namun saat ini posisi Indonesia didesak
oleh dua negara tetangga Malaysia dan Thailand. Lebih dari setengah karet yang
digunakan sekarang ini adalah sintetik, tetapi beberapa juta ton karet alami
masih diproduksi setiap tahun, dan masih merupakan bahan penting bagi beberapa
industri termasuk otomotif dan militer.
Klasifikasi botani tanaman karet adalah sebagai
berikut:
Divisi : Spermatophyta
Sub divisi : Angiospermae
Kelas : Dicotyledonae
Keluarga : Euphorbiaceae
Genus : Hevea
Spesies : Hevea brasiliensis
Sub divisi : Angiospermae
Kelas : Dicotyledonae
Keluarga : Euphorbiaceae
Genus : Hevea
Spesies : Hevea brasiliensis
Tanaman karet merupakan tanaman perkebunan yang tumbuh
di berbagai wilayah di Indonesia. Karet merupakan produk dari proses
penggumpalan getah tanaman karet (lateks). Pohon karet normal disadap pada
tahun ke-5. Produk dari penggumpalan lateks selanjutnya diolah untuk
menghasilkan lembaran karet (sheet), bongkahan (kotak), atau karet remah (crumb
rubber) yang merupakan bahan baku industri karet. Ekspor karet dari Indonesia
dalam berbagai bentuk, yaitu dalam bentuk bahan baku industri (sheet, crumb
rubber, SIR) dan produk turunannya seperti ban, komponen, dan sebagainya.
Hasil karet biasa dimanfaatkan atau diolah menjadi
beberapa produk antara lain adalah : RSS I, RSS II, RSS III, Crumb Rubber,
Lump, dan Lateks. Hasil utama dari pohon karet adalah lateks yang dapat dijual
atau diperdagangkan di masyarakat berupa lateks segar, slab/koagulasi, ataupun
sit asap/sit angin. Selanjutnya produk-produk tersebut akan digunakan sebagai
bahan baku pabrik Crumb Rubber/Karet Remah, yang
menghasilkan berbagai bahan baku untuk berbagai industri hilir seperti ban, bola, sepatu, karet, sarung tangan, baju renang, karet gelang, mainan dari karet, dan berbagai produk hilir lainnya.
menghasilkan berbagai bahan baku untuk berbagai industri hilir seperti ban, bola, sepatu, karet, sarung tangan, baju renang, karet gelang, mainan dari karet, dan berbagai produk hilir lainnya.
B. SEJARAH POHON KARET DI DUNIA
Sejarah karet bermula ketika Christopher Columbus
menemukan benua Amerika pada 1476. saat itu, Columbus tercengang melihat
orang-orang Indian bermain bola dengan menggunakan suatu bahan yang dapat
melantun bila dijatuhkan ketanah. Bola tersebut terbuat dari campuran akar,
kayu, dan rumput yang dicampur dengan suatu bahan (lateks) kemudian dipanaskan
diatas unggun dan dibulatkan seperti bola.
Pada 1731, para ilmuwan mulai tertarik untuk
menyelidiki bahan tersebut. seorang ahli dari Perancis bernama Fresnau melaporkan
bahwa banyak tanaman yang dapat menghasilkan lateks atau karet, diantaranya
dari jenis Havea brasilienss yang
tumbuh di hutan Amazon di Brazil. Saat ini tanaman tersebut menjadi tanaman
penghasil karet utama, dan sudah dibudidayakan di Asia Tenggara yang menjadi
penghasil karet utama di dunia saat ini.
Menidaklanjuti apa yang disampaikan Charles Marie de la
Condamine dan Francois Fresneau dari Perancis bahwa ada beberapa jenis tanaman
yang dapat menghasilkan lateks atau karet, kemudian Sir Clement R. Markham
bersama Sir Joseph Dalton Hooker berusaha membudidayakan beberapa jenis pohon
karet tesebut. Pada tahun 1835, Hancock mendekati
Direktur Botanical Garden Kew London, Sir William Hooker dan menasehatinya
untuk turut membantu mengenalkan dan mulai menanam pohon karet Hevea di wilayah
kolonial Inggris yang berada Asia. Namun ide ini kurang direspon oleh Sir
William Hooker.
Beberapa tahun kemudian kesadaran untuk mulai
membudidayakan pohon karet, diawali oleh Sir Clements Markham, pegawai
pemerintahan Inggris di India. Beliau kemudian meminta James Collin yang telah
terlebih dahulu mempelajari karet untuk mengerjakan proyek penanaman tersebut.
Hasil studi Collin dipublikasikan tahun 1872 dan menjadi perhatian Direktur Kew
Botanic Garden yang baru, Sir Joseph Hooker, putra dari Sir William Hooker.
Selanjutnya Joseph Hooker berkerja sama dengan James Collin dalam usaha
membudidayakan karet. Joseph Hooker membeli sekitar 2000 biji karet dari Farris
atas permintaan Collin. Biji karet tersebut dicoba dikecambahkan namun pada
akhirnya hanya 12 biji yang berhasil tumbuh hingga menjadi tanaman karet baru.
Ketertarikan untuk membudidayakan karet muncul dari
bangsawan Inggris lainnya, Sir Henry Wickman yang menjelajahi hutan Amazon
untuk mengumpulkan biji karet dan pada akhirnya berhasil membawa sekitar 70.000
biji karet ke Inggris tahun 1876. Biji karet Wickman kemudian dikecambahkan di
Kew Botanical Garden namun hanya sekitar 2000 biji saja yang mampu berkecambah.
Usaha budidaya karet juga terus dilakukan oleh Sir Clements Markham, beliau
mengutus Robert Cross ke Amazon untuk mengumpulkan biji karet seperti yang
dilakukan oleh Sir Wickman. Cross kembali ke Inggris dan berhasil membawa 1080
biji namun hanya 3% saja yang mampu bertahan selama perjalanan dari Brazil ke
Inggris tanpa menjadi busuk.
Seratus buah biji karet Wickman yang berhasil tumbuh
menjadi bibit perkecambahan kemudian dikirim ke Ceylon (sekarang Sri Langka)
dari Kew Botanical Garden pada bulan September 1876. Selanjutnya di bulan Juni
1877, Kew Botanical Garden kembali mendistribusikan 22 tanaman karet dengan
tujuan Singapore Botanical Garden. Tanaman karet tersebut diterima oleh Henry
Ridley selaku Direktur Singapore Botanical Garden yang selanjutnya dijuluki
”mad Ridley” karena kegigihannya dalam membudidayakan tanaman karet di tanah
Malaya. Henry Ridley menanam 75% dari tanaman itu di Residency Garden di Kuala
Kangsar kemudian di tahun 1884, Frank Swettenham menanam 400 biji di Perak
dimana biji ini merupakan hasil pohon karet yang ditanam di kuala kangsar dan
selanjutnya antara tahun 1883 – 1885 ditanam di Selangor oleh T. H. Hill.
Ridley juga mengenalkan teknik eksploitasi getah karet dengan penyadapan tanpa
menebang pohon karetnya.
C.
SEJARAH
PERKEMBANGAN KARET DI INDONESIA
Tanaman
karet mulai dikenal di Indonesia sejak zaman penjajahan Belanda. Tanaman karet
yang paling tua diketemukan di Subang Jawa Barat yang ditanam pada tahun 1862.
Pada tahun l864 tanaman karet ditanam di Kebun Raya Bogor sebagai tanaman baru
untuk dikoleksi. Selanjutnya, karet dikembangkan menjadi tanaman perkebunan dan
tersebar di beberapa daerah. Perkebunan karet dibuka oleh Hofland pada tahun
1864 di daerah Pamanukan dan Ciasem, Jawa Barat. Pertama kali jenis yang
ditanam adalah karet rambung atau Ficus elastica. Tanaman karet (Hevea
brasiliensis) ditanam di daerah Sumatera Timur pada tahun 1902, kemudian dibawa
oleh perusahaan perkebunan asing ditanam di Sumatera Selatan. Pada waktu itu
petani membuka hutan untuk menanam padi selama 2 tahun lalu ladang ditinggalkan
,sebelum meninggalkan ladang biasanya menanam tanaman keras seperti karet dan
buah-buahan. Petani akan datang kembali setelah 10 - 12 tahun kemudian untuk
menyadap kebun karetnya.
Perusahaan Harrison and Crossfield Company adalah perusahaan asing pertama yang mulai menanam karet di Sumatera Selatan dalam suatu perkebunan yang dikelola secara komersial, kemudian Perusahaan Sociente Financiere des Caoutchoues dari Belgia pada tahun 1909 dan diikuti perusahaan Amerika yang bernama Hollands Amerikaanse Plantage Maatschappij (HAPM) pada tahun 1910-1991. Perluasan perkebunan karet di Sumatera berlangsung mulus berkat tersedianya sarana transportasi yang memadai. Umumnya sarana transportasi ini merupakan warisan dari usaha perkebunan tembakau yang telah dirombak. Harga karet yang membumbung pada tahun 1910 dan 1911 menambah semangat para pengusaha perkebunan untuk mengembangkan usahanya. Walaupun demikian, pada tahun 1920-1921 terjadi depresi perekonomian dunia yang membuat harga karet merosot. Namun pada tahun 1922 dan 1926 terjadi ledakan harga lagi karena kurangnya produksi karet dunia sementara industri mobil di Amerika meningkatkan jumlah permintaan karet.
Perkebunan karet rakyat di Indonesia juga berkembang seiring naiknya permintaan karet dunia dan ledakan harga. Hal-hal lain yang ikut menunjang dibukanya perkebunan karet rakyat di beberapa daerah antara lain karena pemeliharaan tanaman karet relatif mudah dan rakyat mempunyai kepercayaan terhadap cerahnya masa depan perkebunan karet. Beberapa jemaah haji dari Indonesia pada waktu pulang dari Mekkah yang berhenti di Singapura atau Malaysia membawa biji karet untuk ditanam di Indonesia. Disamping itu dengan lancarnya perdagangan antara Sumatera dan Malaysia juga membantu berkembangnya usaha karet rakyat. Ledakan tingginya harga karet terutama setelah terjadi pada tahun 1922 dan 1926 menjadikan rakyat berlomba-lomba membuka kebun karet sendiri. Pemerintah Hindia Belanda pada waktu itu memang tidak membuat peraturan tentang pembukaan dan pengusahaan perkebunan karet oleh rakyat. Akibat nya, lahan karet di Indonesia meluas secara tak terkendali sehingga kapasitas produksi karet menjadi berlebihan. Harga karet pun menjadi semakin sulit dipertahankan pada angka yang wajar. Kecenderungan yang terjadi adalah semakin menurunnya harga karet di pasaran.
Beberapa kali pemerintah Hindia Belanda merencanakan untuk melakukan pembatasan atau restriksi terhadap karet rakyat. Pada tanggal 7 Mei 1934 diadakan persetujuan antara Pemerintah Prancis, Britania Raya, Irlandia Utara, British Indie, Belanda dan Siam mengada-kan pembatasan dalam memproduksi karet dan ekspornya. Persetujuan ini diumumkan dalam Stbl. 1934 No. 51 yang selanjutnya diadakan perubahan dengan Stbl. 1936 No. 472 dan 1937 No. 432. Pada kenyataannya Pemerintah Hindia Belanda tidak berhasil melakukan restriksi karet di luar Jawa, maka Pemerintah Hindia Belanda melakukan pembatasan ekspor karet dengan pajak ekspor. Pajak ekspor ini mengakibatkan produksi menjadi turun dan menurunkan harga yang diterima ditingkat petani.
Kemudian pada tahun 1937-1942 diberlakukanlah kupon karet yang berfungsi sebagai surat izin ekspor karet diberikan kepada petani pemilik karet dan bukan kepada eksportir. Dengan sistem kupon ini petani karet dapat menjual karetnya ke luar negeri misalnya ke Singapura. Apabila petani karet tersebut tidak berkeinginan menjual karetnya langsung ke luar negeri maka ia dapat menjual kuponnya kepada petani lain atau kepada pedagang atau eksportir. Sistem kupon tersebut merupakan jaminan sosial bagi pemilik karet karena walaupun pohon karetnya tidak disadap, tetapi pemilik karet tetap menerima kupon yang bisa dijual atau diuangkan. Sistem kupon ini dimaksudkan pula untuk membatasi produksi (rubber restric-tion) karena bagi petani pemilik yang terpenting terpenuhinya kebutuhan ekonomi rumah tangganya dari hasil penjualan kupon yang diterimanya walaupun pohon karetnya tidak disadap.
Pada tahun 1944 Pemerintah Jepang yang berkuasa waktu itu membuat peraturan larangan perluasan kebun karet rakyat. Produksi karet rakyat yang akan diekspor dikenai pajak yang tinggi yaitu sebesar 50 % dari nilai keseluruhan. Kebijaksanaan tersebut berdampak menekan pada perkebunan karet rakyat. Pukulan yang menyakitkan ini tidak mematikan perkembangan perkebunan karet rakyat karena perkebunan karet rakyat masih tetap berjalan dan para petani karet masih percaya akan masa depan usahatani karetnya. Pedagang perantara yang banyak menyediakan barang-barang kebutuhan pokok dan menjadi penyalur produksi karet rakyat dengan jalan membeli hasil produksinya merupakan mata rantai yang tetap mempertahankan kelangsungan usahatani ini. Usahatani karet mereka tidak terlalu berpatokan pada peningkatan produksi dan keuntungan yang berlimpah. Apabila kebutuhan sehari-hari untuk seluruh keluarga petani tercukupi maka petani akan terus mempertahankan usahatani kebun karetnya.
Setelah Perang Dunia II berakhir dan pengaruhnya agak reda di berbagai belahan dunia yang terlibat, maka permintaan akan karet menunjukkan peningkatan kembali. Indonesia pun agak merasa lega karena Jepang tidak lagi berkuasa. Sejak tahun 1945 perkebunan-perkebunan karet yang dulu diambil secara paksa oleh pihak Jepang dapat dilanjutkan kembali pengelolaannya oleh pemerintah Indonesia. Pemerintah mengelola kembali perkebunan karet negara dan mengiatkan perkebunan karet rakyat yang diikuti oleh perkebunan karet swasta sehingga Indonesia menguasai pasaran karet alam internasional, tetapi perluasan areal karet dan peremajaan tanaman karet tua kurang perhatian akibatnya terjadi penurunan produksi karet alam Indonesia.
Pembangunan perkaretan di Indonesia pada Pembangunan Jangka Panjang Tahap I Tahun 1969 – 1994 diarahkan mendorong perkembangan ekonomi pedesaan sehingga mampu meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Pada tahun 1968 luas areal karet rakyat sekitar 1,7 juta ha meningkat menjadi 2,6 juta ha pada tahun 1993, terutama perluasan areal proyek bantuan pemerintah, namun luas tanaman karet tua dan rusak cukup luas sekitar 401 ribu ha. Petani lebih memilih penanaman karet baru secara tradisional dengan membuka lahan baru (blukar/hutan) dari pada meremajakan karet tuanya karena kebun karet tua dianggap masih merupakan asset yang sewaktu-waktu dapat dikelola (Forum Pengkajian Perkaretan, 1994).
Penanaman karet secara teknologi tradisional dilakukan sampai tahun 1980 di beberapa wilayah di Sumatera Selatan terutama di wilayah desa belum maju yang dicirikan oleh ketersediaan lahan yang masih cukup luas, belum ada proyek pengembangan karet dan keterbatasan pengetahuan petani. Pesatnya perkembangan penanaman kelapa sawit yang dilakukan perkebunan besar swasta dan negara sejak tahun 1990-an, disinyalir ada sebagian kebun petani yang dikonversi dengan kelapa sawit, karena lahan petani diikutsertakan sebagai kebun plasma atau diganti rugi oleh perusahaan. Namun perkembangan luas areal karet terus meningkat (Forum Bersama Pembangunan Perkebunan Sumatera Selatan, 2004).
Pada tahun 1977/1978 pengembangan perkebunan karet di Indonesia dilakukan pemerintah melalui empat pola yaitu (1) Pola Perusahaan Inti Rakyat (PIR), (2) Pola Unit Pelaksanaan Proyek (UPP), (3) Pola Bantuan Parsial, dan (4) Pola Pengembangan Perkebunan Besar (PPB).
a. Pola Perusahaan Inti Rakyat (Pola PIR) merupakan pengembangan perkebunan melalui pemanfaatan kelebihan kemampuan yang dimiliki oleh perusahaan perkebunan besar untuk membantu pengembangan perkebunan rakyat di sekitarnya. Perusahaan besar ber-tindak sebagai inti dan perkebunan rakyat sebagai plasma. Selanjutnya setelah kebun plasma menghasilkan perusahaan inti turut mengolah dan memasarkan hasilnya. PIR berusaha menciptakan petani mandiri di wilayah bukaan baru dan ditujukan untuk kelompok masyarakat lokal maupun pendatang yang berminat menjadi petani karet. Seluruh biaya pembangunan kebun merupakan komponen kredit petani, sebelum karet produktif petani sebagai pekerja buruh plasma yang di upah.
Pemerintah membangun perkebunan karet melalui Pola PIR karet yaitu PIR Berbantuan, PIR Swadana dan PIR Transmigrasi di Indonesia sampai dengan tahun 1991 seluas 255.000 ha sedangkan di Sumatera Selatan seluas 159.261 ha dengan jumlah petani sebanyak 79.631 kepala keluarga (Forum Pengkajian Perkaretan, 1994). Melihat kondisi petani PIR mengalami masalah ketidak mampuan untuk melunasi kreditnya, penjualan bahan olah karet (bokar) keluar inti, mutu bokar yang rendah dan beragam serta eksploitasi tanaman karet yang berlebihan, maka sejak tahun 1991 pemerintah tidak lagi mengembangkan perkebunan karet melalui Pola PIR.
b. Pola Unit Pelaksanaan Proyek (Pola UPP) merupakan pengembangan perkebunan yang dilaksanakan di wilayah usahatani karet rakyat yang telah ada (existing) tetapi petani tidak mempunyai modal untuk membangun kebun. Pemerintah pusat telah mengembangkan perkebunan karet di Indonesia sampai dengan tahun 1991 melalui Pola UPP seluas 441.736 ha yaitu melalui proyek UPP Proyek Rehabilitasi dan Peremajaan Tanaman Ekspor (PRPTE) sebanyak 69 %, dan Smallholder Rubber Development Project (SRDP) sebanyak 31 % sedangkan di Sumatera Selatan seluas 98.741 ha dengan jumlah petani sebanyak 98.741 kepala keluarga (Forum Pengkajian Perkebunan, 1994).
Pola UPP PRPTE dilaksanakan dengan prinsip petani mengelola sendiri sedangkan pihak UPP melaksanakan kegiatan penyuluhan dan pembinaan. Kurang berjalannya UPP PRPTE disebabkan masih rendahnya minat dan pengetahuan petani akan bibit unggul, sarana transportasi terlantar dan pendanaan kurang berkesinambungan. Pola UPP SRDP dilaksanakan dengan prinsip petani mengelola sendiri mulai dari pembangunan kebun sedangkan pihak UPP memberikan bimbingan dan penyuluhan secara berkelompok dengan hamparan 20 ha dan paket kredit saprodi termasuk upah tenaga kerja.
Pola Sector Crops Develompment Project (SCDP) dilaksanakan dengan prinsip yang tidak berbeda dengan SRDP, hanya lokasinya diarahkan di daerah transmigrasi umum yang potensial karet. Selanjutnya pengembangan karet dibiayai dari proyek Tree Crops Smallholder Develompment Project (TCSDP) dalam mengembangkan kebun karet rakyat dilakukan merger konsentrasi yang dibiayai oleh Bank Dunia yaitu penggabungan mana-jemen yang berkaitan dengan teknologi, proses produksi dan pemasaran. Pembaharuan terhadap lembaga konversi dengan ketentuan biaya pada tahun pertama bersifat hibah dan tahun selanjutnya merupakan kredit komersial pengembangan penanaman karet baru pada tahun 1994 - 1998 seluas 65.000 ha. Proyek Tree Crops Smallholder Sector Project (TCSSP) mengembangkan kebun karet rakyat yang dibiayai oleh Bank Pembangunan Asia seluas 73.000 ha.
c. Pola Bantuan Parsial merupakan kegiatan pembangunan perkebunan melalui pemberian bantuan parsial kepada petani secara gratis. Pola ini dilaksanakan pada wilayah yang berada di luar PIR dan UPP. Pola Bantuan Parsial terdiri dari Proyek Peningkatan Produksi Perkebunan Unit Pengelohan Hasil (P4UPH) dan Proyek Penanganan Wilayah Khusus (P2WK). P4UPH merupakan kegiatan untuk meningkatkan mutu bokar. Pada tahun 1992/ 1993 melalui proyek P4UPH telah dibantu 880 unit pengolahan karet berupa unit hand mangel. Proyek P2WK merupakan kegiatan pengembangan tanaman perkebunan dalam suatu skala ekonomis melalui bantuan gratis paket saprodi tanaman karet dan tanaman sela pada tahun pertama dan tahun berikutnya swadaya petani. Pola swadaya/berbantuan tersebut telah dilaksanakan di Sumatera Selatan pada tahun 1992/1993 seluas 32.106 ha dengan jumlah petani sebanyak 32.106 kepala keluarga.
Bentuk Pola Bantuan Parsial lainnya yaitu sistem usaha rayonisasi dimana adanya hubungan kerjasama usaha antara kelembagaan petani karet dengan perusahaan pengolah/eksportir berdasarkan prinsip saling membutuhkan, menguntungkan, kesetiaan dan penerapan etika bisnis yang baik.
d. Pola Pengembangan Perkebunan Besar (Pola PPB) merupakan sistem pengembangan perkebunan untuk para pengusaha baik dalam membangun kebun sendiri maupun sebagai inti dari pengembangan PIR. Pengembangan perkebunan besar melalui fasilitas Kredit Likuidasi Bank Indonesia (KLBI), Paket Deregulasi Januari 1990 (Pakjan 1990) dengan kredit bunga komersial dan Paket Juli 1992, melalui investasi joint venture dengan perusahaan asing.
Dana Sumbangan Wajib Eksportir (Kepres RI No. 301 tahun 1968) ditujukan untuk penelitian dan pengembangan komoditi karet, kemudian pada tahun 1979 terdapat Dana Tanaman Ekspor (DTE) ditujukan untuk overhead pembangunan sektor perkebunan dan setelah DTE ditiadakan maka dilanjutkan dengan pendanaan Kredit Investasi Kecil (KIK) yang sangat terbatas dan tidak diberi subsidi. Perkembangan peremajaan karet sejak diberlakukan paket deregulasi Januari 1990 dengan kredit bunga komersial disalurkan melalui dana kredit investasi kecil (KIK) yang sangat terbatas dan tidak diberikan subsidi. Oleh karena itu pengembangan peremajaan kebun karet sejak saat itu pada umumnya dilakukan secara swadaya petani baik secara bertahap maupun sekaligus.
Selanjutnya Pola Pengembangan Perusahaan Perkebunan melalui berbagai pola yaitu (1) Pola Usaha Koperasi Perkebunan, (2) Pola Patungan Koperasi Investor, (3) Pola Patungan Investor Koperasi, (4) Pola Build, Operate dan Transfer (BOT), dan (5) Pola BTN (investor bangun kebun dan atau pabrik kemudian dialihkan kepada koperasi). Perizinan usaha perkebunan diatur dengan Keputusan Menteri Kehutanan dan Perkebunan Nomor: 107/Kpts.II/1995 kemudian direvisi dengan Keputusan Menteri Pertanian No: 357/Kpts Hk-350/5/2002 tentang Pedoman Perizinan Usaha Perkebunan.
Perusahaan Harrison and Crossfield Company adalah perusahaan asing pertama yang mulai menanam karet di Sumatera Selatan dalam suatu perkebunan yang dikelola secara komersial, kemudian Perusahaan Sociente Financiere des Caoutchoues dari Belgia pada tahun 1909 dan diikuti perusahaan Amerika yang bernama Hollands Amerikaanse Plantage Maatschappij (HAPM) pada tahun 1910-1991. Perluasan perkebunan karet di Sumatera berlangsung mulus berkat tersedianya sarana transportasi yang memadai. Umumnya sarana transportasi ini merupakan warisan dari usaha perkebunan tembakau yang telah dirombak. Harga karet yang membumbung pada tahun 1910 dan 1911 menambah semangat para pengusaha perkebunan untuk mengembangkan usahanya. Walaupun demikian, pada tahun 1920-1921 terjadi depresi perekonomian dunia yang membuat harga karet merosot. Namun pada tahun 1922 dan 1926 terjadi ledakan harga lagi karena kurangnya produksi karet dunia sementara industri mobil di Amerika meningkatkan jumlah permintaan karet.
Perkebunan karet rakyat di Indonesia juga berkembang seiring naiknya permintaan karet dunia dan ledakan harga. Hal-hal lain yang ikut menunjang dibukanya perkebunan karet rakyat di beberapa daerah antara lain karena pemeliharaan tanaman karet relatif mudah dan rakyat mempunyai kepercayaan terhadap cerahnya masa depan perkebunan karet. Beberapa jemaah haji dari Indonesia pada waktu pulang dari Mekkah yang berhenti di Singapura atau Malaysia membawa biji karet untuk ditanam di Indonesia. Disamping itu dengan lancarnya perdagangan antara Sumatera dan Malaysia juga membantu berkembangnya usaha karet rakyat. Ledakan tingginya harga karet terutama setelah terjadi pada tahun 1922 dan 1926 menjadikan rakyat berlomba-lomba membuka kebun karet sendiri. Pemerintah Hindia Belanda pada waktu itu memang tidak membuat peraturan tentang pembukaan dan pengusahaan perkebunan karet oleh rakyat. Akibat nya, lahan karet di Indonesia meluas secara tak terkendali sehingga kapasitas produksi karet menjadi berlebihan. Harga karet pun menjadi semakin sulit dipertahankan pada angka yang wajar. Kecenderungan yang terjadi adalah semakin menurunnya harga karet di pasaran.
Beberapa kali pemerintah Hindia Belanda merencanakan untuk melakukan pembatasan atau restriksi terhadap karet rakyat. Pada tanggal 7 Mei 1934 diadakan persetujuan antara Pemerintah Prancis, Britania Raya, Irlandia Utara, British Indie, Belanda dan Siam mengada-kan pembatasan dalam memproduksi karet dan ekspornya. Persetujuan ini diumumkan dalam Stbl. 1934 No. 51 yang selanjutnya diadakan perubahan dengan Stbl. 1936 No. 472 dan 1937 No. 432. Pada kenyataannya Pemerintah Hindia Belanda tidak berhasil melakukan restriksi karet di luar Jawa, maka Pemerintah Hindia Belanda melakukan pembatasan ekspor karet dengan pajak ekspor. Pajak ekspor ini mengakibatkan produksi menjadi turun dan menurunkan harga yang diterima ditingkat petani.
Kemudian pada tahun 1937-1942 diberlakukanlah kupon karet yang berfungsi sebagai surat izin ekspor karet diberikan kepada petani pemilik karet dan bukan kepada eksportir. Dengan sistem kupon ini petani karet dapat menjual karetnya ke luar negeri misalnya ke Singapura. Apabila petani karet tersebut tidak berkeinginan menjual karetnya langsung ke luar negeri maka ia dapat menjual kuponnya kepada petani lain atau kepada pedagang atau eksportir. Sistem kupon tersebut merupakan jaminan sosial bagi pemilik karet karena walaupun pohon karetnya tidak disadap, tetapi pemilik karet tetap menerima kupon yang bisa dijual atau diuangkan. Sistem kupon ini dimaksudkan pula untuk membatasi produksi (rubber restric-tion) karena bagi petani pemilik yang terpenting terpenuhinya kebutuhan ekonomi rumah tangganya dari hasil penjualan kupon yang diterimanya walaupun pohon karetnya tidak disadap.
Pada tahun 1944 Pemerintah Jepang yang berkuasa waktu itu membuat peraturan larangan perluasan kebun karet rakyat. Produksi karet rakyat yang akan diekspor dikenai pajak yang tinggi yaitu sebesar 50 % dari nilai keseluruhan. Kebijaksanaan tersebut berdampak menekan pada perkebunan karet rakyat. Pukulan yang menyakitkan ini tidak mematikan perkembangan perkebunan karet rakyat karena perkebunan karet rakyat masih tetap berjalan dan para petani karet masih percaya akan masa depan usahatani karetnya. Pedagang perantara yang banyak menyediakan barang-barang kebutuhan pokok dan menjadi penyalur produksi karet rakyat dengan jalan membeli hasil produksinya merupakan mata rantai yang tetap mempertahankan kelangsungan usahatani ini. Usahatani karet mereka tidak terlalu berpatokan pada peningkatan produksi dan keuntungan yang berlimpah. Apabila kebutuhan sehari-hari untuk seluruh keluarga petani tercukupi maka petani akan terus mempertahankan usahatani kebun karetnya.
Setelah Perang Dunia II berakhir dan pengaruhnya agak reda di berbagai belahan dunia yang terlibat, maka permintaan akan karet menunjukkan peningkatan kembali. Indonesia pun agak merasa lega karena Jepang tidak lagi berkuasa. Sejak tahun 1945 perkebunan-perkebunan karet yang dulu diambil secara paksa oleh pihak Jepang dapat dilanjutkan kembali pengelolaannya oleh pemerintah Indonesia. Pemerintah mengelola kembali perkebunan karet negara dan mengiatkan perkebunan karet rakyat yang diikuti oleh perkebunan karet swasta sehingga Indonesia menguasai pasaran karet alam internasional, tetapi perluasan areal karet dan peremajaan tanaman karet tua kurang perhatian akibatnya terjadi penurunan produksi karet alam Indonesia.
Pembangunan perkaretan di Indonesia pada Pembangunan Jangka Panjang Tahap I Tahun 1969 – 1994 diarahkan mendorong perkembangan ekonomi pedesaan sehingga mampu meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Pada tahun 1968 luas areal karet rakyat sekitar 1,7 juta ha meningkat menjadi 2,6 juta ha pada tahun 1993, terutama perluasan areal proyek bantuan pemerintah, namun luas tanaman karet tua dan rusak cukup luas sekitar 401 ribu ha. Petani lebih memilih penanaman karet baru secara tradisional dengan membuka lahan baru (blukar/hutan) dari pada meremajakan karet tuanya karena kebun karet tua dianggap masih merupakan asset yang sewaktu-waktu dapat dikelola (Forum Pengkajian Perkaretan, 1994).
Penanaman karet secara teknologi tradisional dilakukan sampai tahun 1980 di beberapa wilayah di Sumatera Selatan terutama di wilayah desa belum maju yang dicirikan oleh ketersediaan lahan yang masih cukup luas, belum ada proyek pengembangan karet dan keterbatasan pengetahuan petani. Pesatnya perkembangan penanaman kelapa sawit yang dilakukan perkebunan besar swasta dan negara sejak tahun 1990-an, disinyalir ada sebagian kebun petani yang dikonversi dengan kelapa sawit, karena lahan petani diikutsertakan sebagai kebun plasma atau diganti rugi oleh perusahaan. Namun perkembangan luas areal karet terus meningkat (Forum Bersama Pembangunan Perkebunan Sumatera Selatan, 2004).
Pada tahun 1977/1978 pengembangan perkebunan karet di Indonesia dilakukan pemerintah melalui empat pola yaitu (1) Pola Perusahaan Inti Rakyat (PIR), (2) Pola Unit Pelaksanaan Proyek (UPP), (3) Pola Bantuan Parsial, dan (4) Pola Pengembangan Perkebunan Besar (PPB).
a. Pola Perusahaan Inti Rakyat (Pola PIR) merupakan pengembangan perkebunan melalui pemanfaatan kelebihan kemampuan yang dimiliki oleh perusahaan perkebunan besar untuk membantu pengembangan perkebunan rakyat di sekitarnya. Perusahaan besar ber-tindak sebagai inti dan perkebunan rakyat sebagai plasma. Selanjutnya setelah kebun plasma menghasilkan perusahaan inti turut mengolah dan memasarkan hasilnya. PIR berusaha menciptakan petani mandiri di wilayah bukaan baru dan ditujukan untuk kelompok masyarakat lokal maupun pendatang yang berminat menjadi petani karet. Seluruh biaya pembangunan kebun merupakan komponen kredit petani, sebelum karet produktif petani sebagai pekerja buruh plasma yang di upah.
Pemerintah membangun perkebunan karet melalui Pola PIR karet yaitu PIR Berbantuan, PIR Swadana dan PIR Transmigrasi di Indonesia sampai dengan tahun 1991 seluas 255.000 ha sedangkan di Sumatera Selatan seluas 159.261 ha dengan jumlah petani sebanyak 79.631 kepala keluarga (Forum Pengkajian Perkaretan, 1994). Melihat kondisi petani PIR mengalami masalah ketidak mampuan untuk melunasi kreditnya, penjualan bahan olah karet (bokar) keluar inti, mutu bokar yang rendah dan beragam serta eksploitasi tanaman karet yang berlebihan, maka sejak tahun 1991 pemerintah tidak lagi mengembangkan perkebunan karet melalui Pola PIR.
b. Pola Unit Pelaksanaan Proyek (Pola UPP) merupakan pengembangan perkebunan yang dilaksanakan di wilayah usahatani karet rakyat yang telah ada (existing) tetapi petani tidak mempunyai modal untuk membangun kebun. Pemerintah pusat telah mengembangkan perkebunan karet di Indonesia sampai dengan tahun 1991 melalui Pola UPP seluas 441.736 ha yaitu melalui proyek UPP Proyek Rehabilitasi dan Peremajaan Tanaman Ekspor (PRPTE) sebanyak 69 %, dan Smallholder Rubber Development Project (SRDP) sebanyak 31 % sedangkan di Sumatera Selatan seluas 98.741 ha dengan jumlah petani sebanyak 98.741 kepala keluarga (Forum Pengkajian Perkebunan, 1994).
Pola UPP PRPTE dilaksanakan dengan prinsip petani mengelola sendiri sedangkan pihak UPP melaksanakan kegiatan penyuluhan dan pembinaan. Kurang berjalannya UPP PRPTE disebabkan masih rendahnya minat dan pengetahuan petani akan bibit unggul, sarana transportasi terlantar dan pendanaan kurang berkesinambungan. Pola UPP SRDP dilaksanakan dengan prinsip petani mengelola sendiri mulai dari pembangunan kebun sedangkan pihak UPP memberikan bimbingan dan penyuluhan secara berkelompok dengan hamparan 20 ha dan paket kredit saprodi termasuk upah tenaga kerja.
Pola Sector Crops Develompment Project (SCDP) dilaksanakan dengan prinsip yang tidak berbeda dengan SRDP, hanya lokasinya diarahkan di daerah transmigrasi umum yang potensial karet. Selanjutnya pengembangan karet dibiayai dari proyek Tree Crops Smallholder Develompment Project (TCSDP) dalam mengembangkan kebun karet rakyat dilakukan merger konsentrasi yang dibiayai oleh Bank Dunia yaitu penggabungan mana-jemen yang berkaitan dengan teknologi, proses produksi dan pemasaran. Pembaharuan terhadap lembaga konversi dengan ketentuan biaya pada tahun pertama bersifat hibah dan tahun selanjutnya merupakan kredit komersial pengembangan penanaman karet baru pada tahun 1994 - 1998 seluas 65.000 ha. Proyek Tree Crops Smallholder Sector Project (TCSSP) mengembangkan kebun karet rakyat yang dibiayai oleh Bank Pembangunan Asia seluas 73.000 ha.
c. Pola Bantuan Parsial merupakan kegiatan pembangunan perkebunan melalui pemberian bantuan parsial kepada petani secara gratis. Pola ini dilaksanakan pada wilayah yang berada di luar PIR dan UPP. Pola Bantuan Parsial terdiri dari Proyek Peningkatan Produksi Perkebunan Unit Pengelohan Hasil (P4UPH) dan Proyek Penanganan Wilayah Khusus (P2WK). P4UPH merupakan kegiatan untuk meningkatkan mutu bokar. Pada tahun 1992/ 1993 melalui proyek P4UPH telah dibantu 880 unit pengolahan karet berupa unit hand mangel. Proyek P2WK merupakan kegiatan pengembangan tanaman perkebunan dalam suatu skala ekonomis melalui bantuan gratis paket saprodi tanaman karet dan tanaman sela pada tahun pertama dan tahun berikutnya swadaya petani. Pola swadaya/berbantuan tersebut telah dilaksanakan di Sumatera Selatan pada tahun 1992/1993 seluas 32.106 ha dengan jumlah petani sebanyak 32.106 kepala keluarga.
Bentuk Pola Bantuan Parsial lainnya yaitu sistem usaha rayonisasi dimana adanya hubungan kerjasama usaha antara kelembagaan petani karet dengan perusahaan pengolah/eksportir berdasarkan prinsip saling membutuhkan, menguntungkan, kesetiaan dan penerapan etika bisnis yang baik.
d. Pola Pengembangan Perkebunan Besar (Pola PPB) merupakan sistem pengembangan perkebunan untuk para pengusaha baik dalam membangun kebun sendiri maupun sebagai inti dari pengembangan PIR. Pengembangan perkebunan besar melalui fasilitas Kredit Likuidasi Bank Indonesia (KLBI), Paket Deregulasi Januari 1990 (Pakjan 1990) dengan kredit bunga komersial dan Paket Juli 1992, melalui investasi joint venture dengan perusahaan asing.
Dana Sumbangan Wajib Eksportir (Kepres RI No. 301 tahun 1968) ditujukan untuk penelitian dan pengembangan komoditi karet, kemudian pada tahun 1979 terdapat Dana Tanaman Ekspor (DTE) ditujukan untuk overhead pembangunan sektor perkebunan dan setelah DTE ditiadakan maka dilanjutkan dengan pendanaan Kredit Investasi Kecil (KIK) yang sangat terbatas dan tidak diberi subsidi. Perkembangan peremajaan karet sejak diberlakukan paket deregulasi Januari 1990 dengan kredit bunga komersial disalurkan melalui dana kredit investasi kecil (KIK) yang sangat terbatas dan tidak diberikan subsidi. Oleh karena itu pengembangan peremajaan kebun karet sejak saat itu pada umumnya dilakukan secara swadaya petani baik secara bertahap maupun sekaligus.
Selanjutnya Pola Pengembangan Perusahaan Perkebunan melalui berbagai pola yaitu (1) Pola Usaha Koperasi Perkebunan, (2) Pola Patungan Koperasi Investor, (3) Pola Patungan Investor Koperasi, (4) Pola Build, Operate dan Transfer (BOT), dan (5) Pola BTN (investor bangun kebun dan atau pabrik kemudian dialihkan kepada koperasi). Perizinan usaha perkebunan diatur dengan Keputusan Menteri Kehutanan dan Perkebunan Nomor: 107/Kpts.II/1995 kemudian direvisi dengan Keputusan Menteri Pertanian No: 357/Kpts Hk-350/5/2002 tentang Pedoman Perizinan Usaha Perkebunan.
D.
SEJARAH
PERKEMBANGAN KARET DI RIAU
Tanaman karet merupakan bagian tak terpisahkan dari kehidupan masyarakat
Riau. Dalam bahasa lokal karet di sebut getah, sama dengan nama yang digunakan
di semenanjung Malaya. Bagi saya, menarik untuk mengenal sejarah perkebunan
karet di Riau.
Perkembangan Perkebunan Karet tak dapat dipisahkan dari adanya krisis
tembakau dan kopi yang menjadi komoditas andalan pemerintah kolonial Hindia
Belanda, mendorong pemerintahan Hindia Belanda untuk membangun perkebunan
karet. Pada tahun 1864, Perkebunan Karet mulai diperkenalkan dan dikembangkan
di Indonesia, dengan pertama kali dibuka di daerah Pamanukan dan Ciasem (Jawa
Barat) oleh Hofland perusahaan Belanda. Jenis tanaman karet yang ditanam
di waktu itu adalah karet “rambung” (Ficus elastica). Dan karet jenis Hevea
brasiliensis baru ditanam di Sumatera Timur, tahun 1902. Perkebunan Karet
di Indonesia lebih berkembang setelah Netherlands Indies membuka pintu
bagi para investor asing, terutama dari Inggris, Belanda dan Belgia serta
Amerika. Seiring dengan itu, pemerintah Hindia Belanda untuk pertama kalinya
memperkenalkan sistem perkebunan besar (modern) yang dibuka di daerah Indragiri
pada 1893.
Selanjutnya disusul oleh perkebunan perkebunan lainnya. Sehingga pada 1915,
di seluruh Kepulauan Riau, Indragiri dan Kuantan terdapat 12 onderneming.
Tanah-tanah erfpacht yang luas di Japura, Kelawat, Sungai Lala, Sungai
Parit, Gading, Air Molek dan Sungai Sagu, kemudian dimanfaatkan untuk ditanami
pohon karet.
Seiring dengan perkembangan permintaan karet-alam Dunia, terutama setelah
adanya pengaruh “boom” harga karet-alam setelah PD II. Perkebunan karet yang
dikelola oleh rakyat (perkebunan rakyat) sudah terlebih dahulu di kenal
masyarakat Riau, bahkan jauh sebelum diperkenalkan oleh pemerintah kolonial
Hindia Belanda.
Petani mendapatkan benih atau bibit tanaman karet dari para jemaah haji
yang singgah di Malaysia atau Singapura. Perantau Kuantan di Semenanjung Malaya
juga dipercaya sebagai pembawa bibit karet. Sejarah mencatat orang Kuantan -
Riau ramai yang merantau ke Semenanjung Malaya terutama akhir abad XIX dan awal
abad XX, yang dikenal sebagai “poi ke Kolang”. Di semenanjung Malaya,
sebagian perantau Kuantan ada yang berkebun Karet. Selain itu pedagang-pedagang
Cina/ tauke (Malaysia dan Singapura) yang membeli produksi karet-rakyat,
juga sering membawakan benih-benih karet untuk ditanam. Karena itu tanaman
karet sudah merupakan bagian dari budaya kehidupan para petani di Riau. Selain
didukung oleh kondisi alam, juga sistem pertanian-kebun bagi masyarakat Riau
merupakan suatu bentuk adaptasi di bidang pertanian, karena cengkraman iklim
dan kesuburan tanah di Riau yang tidak sebaik di Jawa yang sarat dengan
intensifikasi tanaman pangan, maka subsektor perkebunan di Propinsi Riau melaju
lebih cepat dibanding dengan sektor pertanian tanaman pangan.
Jadi budaya pertani-kebun yang mendasari kehidupan penduduk di Riau adalah
kehidupan pertanian yang berpusat pada lahan kering. Sehingga tanaman-tanaman
utama yang telah lama menjadi kesukaan dan setting budaya mereka adalah tanaman
karet dan kelapa. Sejarah perkembangan perkebunan karet Inderagiri didominasi
oleh perusahaan perkebunan milik pemerintah kolonial ataupun swasta. Perkebunan
Karet ini menjadi salah satu daya tarik perantau Jawa untuk migrasi ke
Inderagiri dan bekerja di Perkebunan Karet (selain pertambangan minyak).
Tidak heran daerah perkebunan Karet di Inderagiri terutama Airmolek dan
sekitarnya bertumbuh menjadi daerah yang multietnik, dengan proporsi penduduk
dari suku Jawa cukup besar, jauh sebelum pemerintah menyelenggarakan program
transmigrasi. Jejak kejayaan Perkebunan Karet di daerah Airmolek pada masa lalu
di antaranya adalah Rumah Sakit Plantagen, milik salah satu Perusahaan Karet
pada masa itu. Terakhir saya melihat Rumah Sakit yang sudah menjadi bangunan
kosong tak terawat pada tahun 2002. Mudah-mudahan bangunan RS itu masih eksis
dan alangkah baiknya bila dikonservasi dan dijadikan benda cagar budaya.
Sementara itu di Kuantan, perkembangan Perkebunan Karet didominasi oleh
Perkebunan Rakyat, dengan latar belakang sejarah seperti diuraikan di atas.
Baru kemudian pada era 1990an perkebunan rakyat tersebut mendapat perhatian
serius pengembangannya oleh pemerintah melalui program Small Holder Rubber
Development Project (SRDP).
Selesai.